Oleh: Adli Dzil Ikram

Ketika menuju kampung Crak Mong, Aceh Jaya, saya dan tim Gampong Film berhenti di rumah makan Firdaus. Di seberang jalan, pohon dan ombak menghiasi mata, menemani makan siang kami.

“Bang, kalian mau putar film ya?” tanya seorang pelayan ketika kami ingin membayar.

“Iya,” jawab Azhari, tim Gampong Film.

“Putar di kampung saya sekali. Nanti disiapkan aula, ada besar bang,” katanya menyakinkan.

“Oke bang. Kita lihat tahun depan ya,” kata Azhari. Ia juga mencatat nomor pelayan itu. Ada banyak permintaan semacam itu, secara langsung maupun lewat media sosial Aceh Film Festival (AFF). Namun, kami hanya bisa mengunjungi titik yang sudah ditentukan sejak awal, karena energi yang tak cukup.

Kami melanjutkan perjalanan. Laut yang terbentang dan bukit yang menjulang adalah pemandangan sepanjang jalan. Saya lemas, begitu juga teman-teman. Mereka tidak banyak bercanda seperti tadi. Makanan di rumah makan tadi memang enak dan berlemak. Beberapa jurus kemudian, sebagian dari kami tertidur, termasuk saya.

“Bang, di mana tempatnya? Kelihatannya udah sampai,” tanya Mukmin, yang juga tim Gampong Film. Saya terbangun. Azhari bergegas mengambil gawai dan langsung menelpon kepala desa Crak Mong. Azhari meminta Mukmin untuk mengemudi pelan-pelan. “Katanya, beliau udah tunggu di pinggir jalan,” kata Azhari.

Tak lama kemudian, Azhari menerima telpon lagi. Kepala desa memberi tahu bahwa ia melihat mobil kami, dan kami sudah kelewatan. Mukmin memutar balik kemudi. Di sebuah warung kecil, pak Sulaiman, kepala desa Crakmong, menjamu kami.

“Pak, di dalam masih ada kampung?” tanya Azhari sambil menunjuk ke arah rumah-rumah.

“Tidak ada. Rata-rata kampung di sini memanjang,” kata pak Sulaiman. Kampung Crak Mong adalah pemberhentian keempat kami. Kampung-kampung di sini memanjang dan letak rumah antar tetangga juga jarang-jarang. Dan ada beberapa rumah yang di atas bukit. Di lain waktu, saya bertanya pada Syarial, pemuda Crak Mong, tentang rumah-rumah itu. Katanya, mereka orang-orang yang trauma karena tsunami.

Hari hampir sore. Kami memeriksa lokasi untuk pemutaran. Rencananya, pemutaran akan diadakan di lahan kosong dekat meunasah, yang seluas lapangan futsal. Azhari sibuk membaca awan, apakah hujan akan turun nanti malam? Ini penting untuk mengambil keputusan. Jika hujan turun, maka pemutaran akan dilaksanakan di dalam meunasah. Kesimpulannya, kami akan memasang layar setelah insya, melihat kondisi alam. Dan pemutaran dilakukan lebih telat dari biasanya, karena ada samadiah (berdoa untuk yang meninggal di rumah duka).

Sembari menunggu, kami berbincang bersama anak-anak yang sejak tadi penasaran dengan kedatangan kami. Mereka memperhatikan dan bertanya ini-itu. Anak-anak di sini lebih aktif dan bersahabat. Saya tidak melihat mereka memegang gawai. Meskipun mereka mengaku suka bermain game.

Menjelang magrib, kami beristirahat di rumah Syarial. Saya dan tim tertidur pulas. Gerimis turun. Azhari berujar, “kita putar dalam meunasah ya.” Dan menjelang insya hujan turun.

Di meunasah. Layar telah terbentang. Anak-anak berdatangan dan mereka mengambil tempat di depan. Kaum mamak dan ayah juga mulai memenuhi meunasah. Di bagian kanan meunasah, ada yang berdiri dan bersandar di tembok. Saya duduk di dekat sana.

Surat Kaleng 1949 (2019) menjadi film pertama yang diputar. Di puncak adegan film, seorang kakek yang berdiri di tembok kanan meunasah berteriak, “ooo Daud ka i peugeut ke jameun! (ooo Daud udah dibohongin saya dulu!)”. Seruan itu merujuk pada Tgk. Daud Beureueh di dalam film yang diperankan Teuku Rifnu Wikana. Sepanjang pemutaran, selain anak-anak, kakek ini adalah penonton paling ekspresif bagi saya. Saat film Senja Geunaseh Sayang (2015), film tentang kehidupan di panti jompo, saya melihatnya terisak-isak. Mata saya selalu awas ke wajahnya.

Tanoh Akhe (2016), seperti di kampung lain, satu-satunya film yang berbeda dari film-film yang diputar di kampung lain. Film dokumenter ini menceritakan tentang sekelompok ibu pengrajin beulangong tanoh (tempat nanak nasi) yang kiat susah mencari tanah yang berkualitas untuk membuat beulangong tanoh.

Saya melihat anak-anak menonton dengan khidmat. Mereka terlihat begitu senang. Tertawa dan terdiam ketika adegan sedih. Seorang dari mereka meminta untuk diputarkan film anime. Saya yakin mereka sangat terhibur dengan pemutaran seperti ini.

“Kegiatan seperti ini harus diteruskan. Selain untuk mendidik, tentu untuk menghibur. Saya yakin jika pemutaran diadakan tempat terbuka dan tidak hujan, yang datang akan lebih ramai daripada ini,” kata pak Sulaiman. Pak Sulaiman sangat terkesan dengan film Suloh (2020). Ia sadar betul sebagai kepala desa, bahwa setiap masalah yang ada di kampung, lebih baik diselesaikan secara musyawarah.

Ketika Pak Sulaiman memberi kata-kata penutup pemutaran, dengan sedikit berbisik kepada Mukmin, para anak-anak meminta untuk diputar lagi. Tapi, apa daya kami harus segera menuju Meulaboh. Pemberhentian terakhir kami.[]

Aceh Film Festival 2022