Oleh: Adli Dzil Ikram
Di balai desa Gampong Pande, layar kembali dibentangkan. Karena berlokasi di Banda Aceh dan rata-rata tim Gampong Film berdomisili di kota ini, sebagian dari kami berangkat terpisah. Pemasangan layar dan peralatan lain sedikit lebih mudah dan tidak perlu khawatir jika sewaktu-waktu hujan semakin lebat karena pemutaran diadakan di balai desa.
Dalam hujan, saya berangkat dan sedikit tersesat. Dulu ketika masih di semester awal perkuliahan, saya pernah ke sini untuk satu tugas kuliah. Tapi, itu empat tahun yang lalu. Saya lupa-lupa ingat. Dua hal yang saya ingat tentang kampung ini adalah batu nisan dan nipah. Tapi, saya ingat dimana letak kampung ini, tidak jauh dari titik nol kota Banda Aceh.
Ketika itu saya dan teman-teman kuliah diperkenalkan bahwa kampung ini adalah kampung bersejarah dan dikenal dengan kerajinan tangan dari daun nipah. Kami diperlihatkan batu-batu nisan para sultan yang dipugar. Warga sini juga mengolah buah nipah jadi makanan dan minuman. Saya lupa rasanya bagaimana. Dan hanya itu ingatan saya tentang kampung ini.
Sebenarnya, saya bisa saja kembali kapanpun ke sana, karena jarak dari rumah tidak terlalu jauh, tapi tak pernah sekalipun. Saya senang bisa berkunjung kembali ke sini dalam rangkaian Aceh Film Festival.
Setelah salat insya, kami mulai menancapkan sinar proyektor ke layar. Beberapa anak berdiri di dekat pagar balai desa, barangkali karena penasaran. Balai desa itu tak terlalu besar, kurang-lebih, seukuran lapangan futsal.
Pemutaran dimulai. Film Surat Kaleng 1949 menjadi film pertama yang kami putar. Biasanya, film ini jadi penutup. Jumlah penonton di sini bisa dihitung dengan jari. Namun, apalah arti jumlah penontom. Saya sendiri lebih senang penonton yang datang terkesan dan mendapat pengalaman baru dari film. Ketika saya beli minuman di kedai dekat balai, saya mendengar percakapan ibu-ibu. Mereka membahas tentang pemutaran yang tidak diumumkan. Barangkali, itu penyebab kenapa penonton tidak terlalu ramai. Barangkali, karena hujan. Barangkali….ada banyak sebabnya.
Pada pemutaran kali ini, film Pesan dari Batu Nisan (2017) yang menjadi pembeda dari film-film yang diputar di dua kampung sebelumnya. Film dokumenter ini bercerita tentang batu-batu nisan yang terbengkalai di rawa dan di tengah tambak, yang dekat dengan Gampong Pande. Batu-batu nisan itu, sebagian milik sultan, pembesar istana dan ulama Aceh.
Setidaknya, film itu diputar untuk memberikan cara pandang yang lain kepada warga terhadap ruang tinggal mereka. Tidak hanya melihat sebagaimana adanya. Film-film lain, mungkin juga memberi pengalaman baru, yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Saya bertanya, mengapa batu-batu nisan itu bisa berada di tengah tambak dan di rawa-rawa? Mungkin, kawasan itu dulu komplek kuburan? Mungkin, tapak kawasan tersebut tinggi, lalu turun dan dijadikan tambak? Menarik untuk dilihat lebih lanjut dari peta, tata letak, dan kronologis sejarah. Tulisan-tulisan kaligrafi pada batu-batu nisan itu juga menarik dibahas. Bagaimana kesenian pada masa itu? Seperti kata narasumber dalam film ini, “orang tidak mungkin bisa memahat kaligrafi di atas batu tanpa memulainya di atas kertas.” Artinya, ada banyak yang bisa didiskusikan. Penonton di Gampong Pande mungkin bisa melihat hal lain dari tempat tinggalnya yang selama ini hanya dilihat secara kasat mata bahwa bentuk geografisnya memang terberi oleh alam.
Pemutaran kali ini terasa istimewa karena beberapa aktor film Suloh hadir ke lokasi pemutaran. Dan para penonton juga mengenalinya, karena sepanjang film Suloh diputar, penonton becanda dengan salah seorang aktor. “Kak Lailai..Ooo Kak Laila.”
Menjelang akhir pemutaran, seorang pemuda melihat ke arah saya dan menunjuk ke arah seorang mamak yang sedang memangku anaknya. “Nangis…nangis,” katanya sedikit keras hingga ibu itu mendengar.
Ia menutup wajahnya dengan jilbab, lalu berkata, “bagaimana kita gak nangis bang, sedih kita lihat film itu (Senja Geunaseh Sayang).”[]