Oleh: Adli Dzil Ikram
Setelah beristirahat beberapa jam dari Pidie, mobil Gampong Film kembali meneruskan perjalanan. Kami menuju kampung Ie Alang Lamghui, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar. Ini pemberhentian kedua kami.
Dengan melaju pelan, mobil melewati beberapa kampung yang diapit kebun-kebun dan hutan. Beberapa putaran roda kemudian, persawahan terbentang di sebelah kanan kami. Di dalam mobil, Munzir sibuk menelpon untuk memberi kabar ke kampung, bahwa tim sudah hampir tiba.
Hari ini kami mengira akan mudah saja, sebab punya pengalaman memasang layar dan peralatan lainya dari kampung sebelumnya. Tapi, langit berkata lain, awan menjelma gelap dan kami khawatir hujan akan turun.
Mobil tiba. Munzir, bertubuh pendek, yang juga tim Gampong Film adalah warga kampung Ie Alang Lamghui. Dari tadi ia sibuk mencari ruang cadangan, jika halaman meunasah tak bisa digunakan karena hujan. Setelah membahas beberapa solusi, kami sepakat akan membentangkan layar di teras meunasah atau di bangunan sebelahnya. Namun, kami sepakat layar akan dipasang setelah magrib, menunggu kapan gerimis perlahan menjelma hujan. Mungkin juga akan reda.
Sementara yang lain menetap di meunasah, saya, Azhari, Mukmin dan Iqbal berkeliling kampung untuk membuat pengumuman bahwa nanti malam akan diadakannya pemutaran film.
“Kaom ayah ngen kaom mak, kaom muslimin ngen muslimah ntek malam bek tuwoe neu langkah u meunasah Ie Alang Lhamgoi, akan na pemutaran layar tancap, akan ta puta film-film karya sineas Aceh” (Kaum ayah dan kaum ibu, kaum muslimin dan muslimah nanti malam jangan lupa melangkahkan kakinya ke meunasah Ie Alang Lhamgoi akan ada layar tancap, akan kita putar film-film karya sineas Aceh),” seru Azhari melalui pengeras suara. Mobil Gampong Film berbelok-belok mengikuti jalan kampung.
Bagi Azhari, cara seperti ini bagus agar seruan tadi menjadi omongan diantara orang kampung. Di Aceh, cara ini juga sering digunakan untuk mengumumkan acara dakwah islamiyah atau turnamen sepak bola di kampung-kampung.
Saya sendiri sudah lama tertarik untuk melakukan hal ini, melihat bagaimana reaksi-reaksi warga ketika mendengar ajak untuk menonton layar tancap. Boleh dibilang, juga dakwah islamiyah dalam bentuk lain, yakni film. Ada berbagai macam reaksi yang saya lihat dari warga; ada anak kecil yang mengacungkan jari tengah (bercanda tentunya), ada yang diam dan bingung, dan ada yang berhenti bermain bola.
Kami kembali ke meunasah saat magrib. Dan akhirnya awan gelap pecah lalu menurunkan hujan. Kelihatannya layar akan dipasang di teras meunasah. Tapi, kami masih menunggu setelah insya. Barangkali, hujan akan berbaik hati.
Setelah salat insya hujan reda. Tepat seperti dugaan kami. Tim bergegas memasang peralatan. Akhirnya, layar tancap akan dipasang di halaman meunasah, sepeti rencana awal. Memutar film di ruang terbuka, selain kendala teknis, kita memang tergantung dengan cuaca.
Warga mulai berdatangan. Anak-anak berlarian ke sana-kemari. Halaman itu kelihatan sibuk. Diantara kesibukan itu, saya melempar pandangan ke arah teras meunasah. Seorang lelaki tua, lengkap dengan pakaian salat, melempar senyum ke saya. Saya berjalan mendekatinya.
“Sudah lama tidak seperti ini,” katanya dengan senyum sumringah.
“Dulu ada pemutaran juga pak. Kapan itu pak?” tanya saya.
“Dulu zaman saya kecil, tahun 80-an. Film dari Kementerian Penerangan.”
“Film-film seperti apa yang diputar pak?”
“Film pembangunan, pendidikan, film perang, penyiksaan seperti itu.”
“Itu zaman pak Soeharto ya?”
“Iya.”
“Dimana diputarnya?”
“Di kampung ini juga pernah.”
Halaman meunasah kini mulai sesak dari warga. Kelihatan lebih padat dari sebelumnya. Layar sudah berdiri dan film akan segera diputar.
Film-film yang diputar di kampung ini tidak jauh berbeda dari film yang di Pidie. Bedanya hanya pada film Dalaee (2014) karya Munzir dan Alzikri??. Suloh (2020), Senja Geunaseh Sayang (2016) dan Surat Kaleng 1949 (2019) kembali diputar.
Namun, saya menangkap keintiman dari pemutaran kali ini. Bisa jadi ruang terbukanya lebih sempit dan didukung dengan suara sound system yang baik. Dan juga, warga lebih bereaksi ketika melihat adegan-adegan dari setiap film.
Gelak tawa dan geli pecah ketika film Dalae diputar. Film itu bercerita tentang Dalail Khairat, sebuah budaya zikir di Aceh, yang ada di kampung ini. Aktor-aktor yang bermain dalam film, rata-rata warga kampung sini. Sebagian dari mereka juga hadir dalam pemutaran ini. Ditambah pembuat filmnya juga warga Ie Alang Lamghui. Film ini sangat dekat dengan mereka.
“Mereka tertawa karena mereka kenal. Mungkin juga melihat perubahan wajah, sejak film ini dibuat,” kata Munzir.
Alkindi, salah satu tim Gampong Film, mendapati seorang mamak yang duduk di dekatnya, mengomentari karakter Laila. Laila adalah satu-satunya karakter perempuan yang ada di film Suloh. “Begitu gigih si Laila!” kata Alkindi meniru mamak tersebut.
Ketika pemutaran selesai, saya mewawancarai bapak yang berbincang dengan saya di teras meunasah tadi untuk kebutuhan dokumentasi. Namanya Yusri. Ia adalah salah satu tetua di kampung ini.
Saya menanyakan bagaimana kesannya terhadap layar tancap seperti ini dan tentang film-film yang kami putar Baginya, pemutaran film di ruang terbuka seperti ini, membawa kembali ingatan masa kecilnya.
“Umur saya sudah 60, dan baru ini merasakan lagi yang seperti ini. Film Suloh membuat saya sadar, setiap masalah yang bisa diselesaikan di tingkat kampung lebih baik diselesaikan di kampung. Karena di pengadilan sewa pengacara, sewa ini-itu, yang ada habis uang.”
Saya juga bertanya apa itu makna film baginya? “Bagi saya film itu pendidikan, keagamaan, dan kebudayaan. Pemutaran seperti ini seharusnya lebih ditingkatkan.”
Barangkali, ada banyak memori sinema di kampung ini. Memori ini tersimpan rapi dalam ingatan-ingatan. Ada keinginan untuk merekamnya lebih banyak lagi bila diberi kesempatan. Bagaimanapun ia adalah cerita yang perlu diwariskan, mempelajari gerak sinema dari masa ke masa.
Acara selesai dengan ucapan terima kasih dari Pak Yusri di tengah halaman. Warga satu per satu meninggalkan halaman. Ada yang tinggal dan ikut membantu kami mengemas barang-barang. Beberapa tetua berbincang dengan Azhari, Film Programmer untuk program Gampong Film di dekat bale meunasah.
Jamal, juga tim Gampong Film, memperlihatkan video wawancaranya dengan penjual kacang rebus kepada saya. Saya memutar video itu.
“Jadi gimana bang pemutaran film malam ini,” tanya Jamal dalam bahasa Aceh.
“Film malam ini sangat istimewa. Saya paling berkesan film panti jompo (Senja Geunaseh Sayang), buat saya teringat mak dan film sejarah beli-beli pesawat jaman dulu (Surat Kaleng 1949),” jawab abang penjual kacang rebus dengan bahasa Aceh.
“Bagaimana menurutmu pengalaman pemutaran film seperti ini?”
“Hai…bagaimana bilangnya ya. Sekali lagi saya terkesan sekali dengan film panti jompo. Hai..saya nonton film dapat, rezeki dapat.”
Saya mengacungkan dua jari jempol kepada Jamal dan berkata, “mantap bang!”[]