“Filem…filem, kakaleun filem ile (film…film, lihat dulu film),” kata seorang anak kepada teman-temannya sambil mengendarai sepeda.
Di depan sana terpasang layar putih dengan sinar dari proyektor bertuliskan “Tidak ada signal”. Para tim Gampong Film masih bekerja agar layar putih itu menampilkan film-film karya sineas Aceh.
Saya dan tim Gampong Film tiba di kampung Dayah Baro beberapa menit sebelum matahari tenggelam. Beberapa warga kampung Dayah Baro yang berada di sekitar lapangan voli mulai merapat kesana. Lapangan voli itu nantinya akan menjadi tempat pemutaran film-film karya sineas Aceh.
Kampung Dayah Baro menjadi kampung pertama dalam rangkaian Gampong Film. Ada lima kampung yang akan kami kunjungi nantinya.
Kami perlahan mulai menurunkan peralatan; sound system, proyektor dan layar putih. Kami mengejar waktu agar layar putih bisa terpasang sebelum magrib tiba. Alhasil, itu hanya keinginan, layar baru terpasang setelah magrib.
“Kepada ibu-ibu dan abang-abang yang masih ada di luar lapangan voli, harap segera masuk ke dalam. Tim Gampong film jauh-jauh datang dari Banda. Dan mereka memilih Dayah Baro sebagai kampung pertama untuk pemutaran. Coba masuk dulu,” kata seorang pria berpeci dari arah barat lapangan. Ketika itu, film Suloh baru saja selesai diputar, namun penonton lebih banyak berdiri di luar lapangan.
Satu per satu penonton mulai memadati lapangan. Saya melihat masyarakat di kampung ini malu untuk masuk ke lapangan. Sebagian lain merasa bingung.
Pemuda yang berjalan di hadapan saya dan menanyakan terkait acara ini, kehilangan minat dan menjauhi lapangan saat saya katakan bahwa film yang akan diputar adalah film-film Aceh, karya sineas Aceh.
Ada empat film yang diputar di sini. Film Suloh (2020) karya Azhari mendapat giliran pertama. Lalu diikuti dengan film Senja Geunaseh Sayang (2016) karya Maulidar dan Astina Ria, film Tgk. Rangkang (2014) karya Muhajir dan M. Akbar Rafsanjani, dan film Surat Kaleng 1949 (2019) karya Fauzan Santa.
Di layar putih itu, para lansia sedang berakting. Nyanyian seorang nenek memecah tawa penonton. Ia menyanyikan lagu India. Barangkali, lagu yang ia hafal sejak kecil, sebelum ia dititipkan di panti jompo. Itu adalah adegan kecil di film Senja Geunaseh Sayang. Meskipun keseluruhan film tersebut adalah kesedihan, film itulah yang banyak mendapat reaksi dari penonton; sedih dan tawa.
Reza Syuhada, selaku sekretaris desa, juga terkesan dengan film Senja Geunaseh Sayang. “Saya sangat terkesan dengan film itu. Menceritakan tentang masalah di sosial kita. Bagaimana seorang anak menelantarkan orang tuanya.” Selain itu, ia juga menyampaikan masukannya agar kedepan pemutaran jangan diadakan di kampung, tapi di kecamatan.
“Supaya lebih ramai lagi yang datang untuk nonton,” katanya.
Mungkin ada banyak kenangan indah, sedih, dan gembira yang tak sempat saya rekam. Untuk itu saya memohon maaf. Namun, diantara semua itu, saya tak akan lupa permintaan seorang anak kecil beberapa menit setelah film terakhir diputar.
“Bang hai, Upin-Ipin neuputa! (Bang, tolong film Upin & Ipin abang putar!).”
Oleh; Adli Dzil Ikram